Dari Soekarno hingga Jokowi: Kenapa Korupsi di Indonesia Tak Kunjung Punah?

JAKARTA, vozpublica.id - Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti bangsa Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Meski pemerintahan berganti, dari era Presiden Soekarno hingga Joko Widodo, upaya pemberantasan korupsi kerap menemui jalan terjal. Berikut ini kilas balik sejarah panjang perang melawan korupsi di Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno lebih fokus menjaga stabilitas politik dan mempertahankan kemerdekaan. Akibatnya, korupsi belum menjadi prioritas utama. Meski begitu, Soekarno sempat membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada 1957 yang diketuai Jenderal A.H. Nasution. Tugasnya: membersihkan aparatur negara dari praktik korupsi.
Namun, banyak pejabat berlindung di balik kekuasaan presiden. Upaya Paran pun kandas. Kemudian lahir lembaga Operasi Budi pada 1963 untuk memburu korupsi di BUMN seperti Pertamina. Hasilnya sempat menjanjikan, menyelamatkan miliaran rupiah, tapi kemudian dibubarkan karena dianggap mencemarkan nama baik presiden.
Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada 1967 yang berhasil menangani ratusan kasus dalam dua tahun. Sayangnya, TPK tak berdaya menghadapi pejabat tingkat atas.
Pada 1970, mahasiswa turun ke jalan menuntut pemberantasan korupsi. Soeharto merespons dengan membentuk Komisi Empat yang menyelidiki kasus besar seperti skandal Ibnu Sutowo di Pertamina. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp3 triliun, tapi kasusnya dianggap hanya kesalahan manajemen.
Berikutnya, hadir lembaga Operasi Tertib (Obstip) yang tak bertahan lama. Upaya pemberantasan korupsi di masa Orde Baru lebih banyak sebatas simbolik. Justru praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin membudaya, hingga akhirnya memicu gerakan reformasi 1998 dan kejatuhan Soeharto.
Di masa Presiden B.J. Habibie, lahirlah UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN serta UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Habibie juga membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melanjutkan pembentukan KPKPN dan membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) di bawah Kejaksaan Agung. Namun, TGPTPK dibubarkan pada 2000 setelah kalah dalam judicial review di Mahkamah Agung.
Tonggak penting terjadi di masa Presiden Megawati Soekarnoputri yang mengesahkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Lembaga ini resmi berdiri tahun 2003, dengan Irjen (Purn) Taufiequrachman Ruki sebagai ketua pertamanya.
Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), KPK semakin dikenal. Hampir tiap minggu KPK mengumumkan penangkapan koruptor, mulai dari menteri, gubernur, hingga tokoh partai. Bahkan Aulia Pohan, besan Presiden SBY, ikut terseret dalam kasus penggelapan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp100 miliar.
Namun, masa kejayaan ini juga diwarnai konflik dengan Polri, seperti dalam kasus "Cicak vs Buaya" tahun 2009. KPK menyadap Komjen Susno Duadji terkait kasus bailout Bank Century senilai Rp6,7 triliun. Hal ini memicu konfrontasi terbuka dan penahanan dua pimpinan KPK: Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, yang memicu gelombang protes publik dengan tagar “Save KPK.”