JAKARTA, vozpublica.id - Iran sedang mempersiapkan rancangan undang-undang (RUU) untuk keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Jika benar-benar mundur, Iran tidak lagi terikat kewajiban untuk membuka fasilitas nuklirnya terhadap inspeksi internasional.
Dampaknya, ini bisa menghilangkan kepercayaan dunia internasional terhadap transparansi program nuklir Iran serta bisa memicu reaksi militer atau sanksi internasional lebih keras.
Langkah ini juga berisiko mendorong negara-negara lain di kawasan, seperti Arab Saudi atau Turki, untuk mengejar program nuklir sendiri demi menjaga keseimbangan kekuatan.
Keputusan Iran untuk mempertimbangkan keluar dari NPT menunjukkan meningkatnya ketegangan antara prinsip kedaulatan nasional dan komitmen global terhadap non-proliferasi senjata nuklir. Dunia kini menunggu apakah langkah ini hanya strategi tekanan diplomatik, atau benar-benar menjadi awal babak baru perlombaan nuklir di kawasan paling tidak stabil di dunia.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Iran Esmaeil Baqaei pekan lalu mengonfirmasi parlemen sedang menyiapkan draf RUU dan akan diajukan dalam waktu dekat. Meski begitu, Baqaei menegaskan Iran tetap menentang pengembangan senjata pemusnah massal, termasuk senjata nuklir.
Keputusan ini diambil setelah Israel menyerang Iran dan di tengah perundingan nuklir dengan Amerika Serikat (AS). Israel menyerang tiga fasilitas nuklir utama Iran, yakni Natanz, Fordow, dan Isfahan.