WASHINGTON, vozpublica.id - Keputusan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk menjatuhkan sanksi kepada Pemerintah Otoritas Palestina (PA) dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) kembali memicu kontroversi global.
Di tengah gelombang kritik internasional terhadap Israel atas serangannya di Jalur Gaza, AS justru memilih menghukum pihak Palestina. Mengapa demikian?
Fokus pada Pelanggaran Komitmen Perdamaian
Dalam pernyataan resminya, AS menyebut sanksi dijatuhkan karena PLO dan PA melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Kepatuhan Komitmen PLO tahun 1989 dan Undang-Undang Komitmen Perdamaian Timur Tengah (MEPCA) tahun 2002.
Kedua undang-undang tersebut mewajibkan pihak Palestina untuk mengakui hak hidup Israel, menolak kekerasan, serta tidak membawa konflik ke ranah hukum internasional.
AS menilai tindakan Palestina, seperti mendukung gugatan hukum terhadap Israel di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ), telah “menginternasionalkan konflik” dan merusak prospek perdamaian bilateral.
Sanksi Diterapkan, Visa Ditolak
Sanksi AS secara konkret berupa penolakan visa bagi anggota PLO dan pejabat PA, sesuai Pasal 604 (a)(1) MEPCA. Selain itu, AS juga menyampaikan laporan ke Kongres mengenai dugaan pelanggaran Palestina terhadap Resolusi PBB 242 dan 338, dua resolusi penting yang menjadi fondasi diplomasi Timur Tengah sejak Perang Enam Hari dan Perang Yom Kippur.
Namun, banyak pihak mempertanyakan mengapa sanksi semacam itu hanya ditujukan kepada Palestina, padahal serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 60.200 warga sipil.