JAKARTA, vozpublica.id - Kondisi makro ekonomi Indonesia di semester II 2024 diprediksi melandai, meski Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen pada 18 September 2024 lalu. Bahkan, diperkirakan BI memmpunyai ruang untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin hingga 50 bps sampai dengan akhir tahun ini.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menilai, pemangkasan BI rate menjadi 6 persen tidak serta merta mendorong ekonomi agar tumbuh di paruh kedua tahun ini.
Dalam kebijakan moneter, Piter menyebut, ada dua kebijakan yang diambil Bank Indonesia untuk mengatur stabilitas likuiditas. Selain menurunkan suku bunga, kebijakan lain adalah penerbitan instrumen operasi moneter kontraksi, yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Adapun SRBI merupakan instrumen pro market untuk memperkuat pendalaman pasar uang, upaya menarik aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio, serta optimalisasi aset SBN.
“Suku bunga uda turun, dari 6,25 persen jadi 6 persen ya, tapi suku bunga itu bukan satu-satunya instrumennya BI dalam mengatur likuiditas Indonesia,” ujar Piter dalam sesi diskusi publik di Jakarta, Rabu (25/9/2024).
“BI punya dua instrumen utama yang sekarang ini digunakan oleh BI untuk mengatur likuiditas dalam rangka menjamin stabilitas. Pertama, suku bunga, suku bunga dinaikkan, tetapi disisi lain Bank Indonesia itu juga yang seperti saya jelaskan sebelumnya melakukan operasi moneter yang menyerap likuiditas,” tuturnya
Sejak diterbitkan pada 17 September 2024, penerbitan SRBI telah mencapai Rp918,42 triliun. Piter memandang, hal yang menjadi persoalan saat ini adalah likuiditas negara masih ‘kering’ alias menipis.