Sejarah Bung Karno Membubarkan DPR: dari Kebuntuan Konstituante hingga Dekrit 5 Juli 1959

JAKARTA, vozpublica.id - Sejarah Bung Karno membubarkan DPR merupakan salah satu episode penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Keputusan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1955 dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) menandai berakhirnya demokrasi liberal dan lahirnya Demokrasi Terpimpin.
Langkah ini tidak hanya mengubah arah politik bangsa, tetapi juga menimbulkan perdebatan panjang mengenai relasi antara eksekutif dan legislatif di Indonesia.
Untuk memahami sejarah Bung Karno membubarkan DPR, kita perlu melihat situasi politik Indonesia pasca-Pemilu 1955. Pemilu pertama tersebut dianggap sangat demokratis dengan partisipasi rakyat yang tinggi. Namun, hasilnya justru menghasilkan fragmentasi politik. Tidak ada partai yang mampu memperoleh mayoritas absolut.
Dikutip dari Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), ia menyebutkan bahwa sistem multipartai kala itu membuat kabinet mudah jatuh karena partai-partai besar lebih mengedepankan kepentingan ideologi dibanding stabilitas pemerintahan. Akibatnya, DPR sulit menghasilkan keputusan yang solid.
Selain itu, Konstituante yang bertugas merumuskan Undang-Undang Dasar baru juga menemui jalan buntu. Menurut George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), disebutkan bahwa perdebatan antara kelompok Islam dan nasionalis mengenai dasar negara semakin memperuncing polarisasi politik. Situasi inilah yang kemudian membuka ruang bagi Soekarno mengambil langkah tegas.
Ketika DPR menolak usulan pemerintah terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 1960, Soekarno menilai lembaga legislatif sudah tidak lagi mendukung jalannya pemerintahan.
Pada 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi tiga poin utama:
Setelah itu, DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan dan diganti dengan DPR Gotong Royong (DPR-GR). Anggota DPR-GR tidak dipilih rakyat, melainkan ditunjuk langsung oleh Presiden. Dikutip dari A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (1978), ia menyebutkan bahwa pembentukan DPR-GR dimaksudkan untuk memperkuat sistem Demokrasi Terpimpin yang menempatkan Presiden sebagai pengendali utama politik nasional.
Sejarah Bung Karno membubarkan DPR membawa dampak luas, di antaranya:
Keputusan Bung Karno membubarkan DPR menuai perdebatan. Bagi pengkritik, langkah tersebut dianggap otoriter dan melemahkan prinsip demokrasi. Namun, pendukungnya melihat hal itu sebagai tindakan penyelamat bangsa dari kebuntuan politik.