Tuntutan transparansi dan akuntabilitas ini juga sejalan dengan prinsip perlindungan konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa pelaku usaha wajib memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen akibat barang atau jasa yang dikonsumsi. Ketentuan ini bukan hanya menekankan kewajiban pemberian ganti rugi, tetapi juga menegaskan pentingnya peran pemerintah sebagai pengawas agar hak-hak konsumen benar-benar terlindungi.
Oleh karena itu, bentuk ganti rugi harus jelas dan terukur, bisa berupa pengembalian biaya, penggantian produk, perawatan kesehatan, maupun pemberian santunan. Dengan demikian, kasus keracunan dalam program MBG tidak hanya membutuhkan evaluasi kebijakan, tetapi juga pemulihan konkret terhadap hak-hak korban sebagaimana dijamin undang-undang serta memberikan kompensasi yang layak.
Selain itu, pihak yang terbukti lalai hingga mengakibatkan keracunan wajib dikenakan sanksi tegas. Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) maupun pihak penyelenggara harus dicabut izinnya, diberikan sanksi administratif, dan diproses hukum pidana sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 190 ayat (1).
Ketentuan itu menyatakan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain sakit dapat dikenakan sanksi pidana. Penegakan hukum ini penting untuk memberi efek jera sekaligus mengembalikan kepercayaan publik.
Ke depan, pemerintah tidak bisa lagi menyerahkan sepenuhnya penyediaan menu MBG kepada pihak ketiga yang rawan disalahgunakan. Sekolah bersama komite orang tua perlu dilibatkan langsung dalam penyusunan menu, pemilihan bahan pangan bergizi, hingga pengawasan distribusi agar mutu gizi dan keamanan makanan benar-benar terjamin.