Tambang Nikel Raja Ampat Dalam Sorotan Ekomedia: Kepentingan Ekonomi vs Krisis Ekologi

Kastolani
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
KAWASAN Raja Ampat, Papua Barat Daya yang dijuluki Surga Terakhir kini tercemar limbah imbas eksploitasi tambang nikel. Hal itu menjadi ancaman serius bagi kelangsungan keanekaragaman hayati dan masyarakat lokal.
Wilayah dengan keanekaragaman hayati yang diakui UNESCO Global Geopark itu kondisinya kini terjerat di antara harapan keuntungan cepat dan tanggung jawab melindungi ekosistem untuk generasi mendatang. Aktivitas penambangan nikel di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran pun menuai sorotan luas masyarakat dunia, tak terkecuali bagi kelompok lingkungan hidup.
Auriga Nusantara dalam laporannya dikutip oleh AP News, dalam lima tahun terakhir wilayah tambang nikel di Raja Ampat sudah mencapai lebih dari 22.400 hektare izin tambang dan memakan 494 hektare terhitung sejak 2020-2024. Aktivitas penambangan tersebut di antaranya penggundulan lahan, pengerukan tanah, serta limpasan sedimentasi yang mengancam keberadaan terumbu karang dan ekosistem hayati laut.
Studi dari BUNUS Character Building (Unesa,2024), mencatat sedimentasi dari penambangan nikel berimbas terjadinya penumpukan lumpur yang menyelimuti karang, mengurangi fotosintesis, serta mengacaukan habitat laut seperti ikan, kura-kura sisik, dan pari manta. Greenpeace juga mendokumentasikan kerusakan akibat ekspolitasi tambang di tiga pulau termasuk hilangnya 500 hektare hutan dan vegetasi alami.
Pencemaran Lingkungan yang Mengkhawatirkan
Raja Ampat merupakan rumah bagi hampir semua jenis terumbu karang dunia yang mencapai 75 persen dan lebih dari 1.600 spesies ikan, menurut AP Sains menunjukkan sedimentasi dari tambang dapat memicu kematian massa pada karang, mendegredasi kualitas air serta mengacaukan rantai makanan laut.
Operasi PT Gag Nikel di Pulau Gag, yang sudah berjalan sejak 1998, meninggalkan jejak kerusakan alam yang sulit dibayangkan. Limbah tailing mengandung nikel, kromium, dan logam berat lain dialirkan ke pantai, lalu perlahan mencemari terumbu karang dan ikan tangkapan. Penelitian Male dan Rehatta (2023) mencatat bahwa bangkai ekosistem karang di pulau tropis semacam ini kehilangan kemampuan pulih setelah tercemar. Sementara itu, warga Manuran melaporkan air laut berwarna cokelat saat pasang-surut, tanda sedimentasi parah yang mengancam kehidupan sehari-hari mereka (Santoso & Wija, 2023).
Selain mencemari air, pembukaan lahan untuk tambang juga menggunduli hutan dalam skala besar. Sekitar 500 hektare hutan di Raja Ampat hilang, dan 260 hektare di Pulau Gag saja sudah rata (Pratama & Sari, 2022). Di pepohonan itulah hidup spesies endemik yang kini berdiri di ambang kepunahan. Sedimentasi dari erosi tanah yang meluncur ke laut juga mengganggu ekosistem pesisir, menghalangi sinar matahari penting bagi terumbu karang dan memengaruhi jalur migrasi satwa seperti pari manta di seputar Wayag (Nugroho & Hartono, 2023).
Konflik dan Kehilangan Mata Pencaharian
Penambangan nikel tak hanya merusak alam, tetapi juga menyalakan api perpecahan di masyarakat Raja Ampat. Maria, seorang ibu rumah tangga dari Kampung Sawinggrai, mengeluhkan bahwa tambang sudah memecah belah komunitas. Ada yang tergoda upah besar dari perusahaan, tetapi laut adalah hidup kami. Tanpa laut, kami tidak punya masa depan, ujarnya dalam wawancara Mei 2025. Pertikaian ini semakin parah ketika ancaman terhadap mata pencaharian perikanan dan pariwisata kian nyata (Wulandari, 2025).