Rp171 Ribu Sekali Rapat: Apakah Ini Wajah Baru Efisiensi Anggaran?

Konsepsi Etis dari Anggaran Negara
Uang negara adalah uang rakyat. Setiap rupiah yang dibelanjakan seharusnya melalui lensa etika: apakah ini memberi manfaat terbesar bagi masyarakat yang paling membutuhkan?
Dalam moralitas kebijakan publik, efisiensi bukan hanya tentang menghemat pengeluaran, tapi tentang mengalihkan sumber daya kepada mereka yang paling lemah, paling terdampak, dan paling membutuhkan kehadiran negara.
Dengan demikian, kebijakan uang konsumsi rapat Rp171.000 menjadi problematik bukan karena nilainya semata, tapi karena ia mencerminkan disonansi moral dalam manajemen anggaran.
Di saat program makan bergizi gratis (MBG) untuk anak sekolah masih dirancang dan diuji coba, bagaimana mungkin konsumsi rapat elite birokrasi sudah lebih dulu dilindungi dan dirinci secara presisi?
Menata Ulang Skala Prioritas Negara
Langkah efisiensi yang sejati harus dimulai dari atas ke bawah. Dalam falsafah Jawa, pemimpin sejati adalah yang "nengsemake"—membangkitkan simpati dengan kesederhanaan dan laku hidup yang memberi teladan.
Ketika negara menata ulang anggaran, seharusnya ia memberi pesan bahwa pengorbanan dimulai dari atas.
Para pejabat tinggi harus rela menerima pemotongan hak-hak simbolis seperti konsumsi rapat, perjalanan dinas mewah, atau insentif yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik.
Banyak negara maju memberi contoh. Di Selandia Baru, saat pandemi melanda, perdana menteri dan menterinya memangkas gaji mereka sebagai bentuk solidaritas.
Di negara-negara Skandinavia, pejabat publik hidup secara wajar, bahkan cenderung sederhana, karena budaya tata kelola mereka meletakkan etika di atas formalitas belaka.