Kisah Cinta Yurike Sanger dan Soekarno: dari Kebaya Anggun hingga Jadi Istri Presiden

JAKARTA, vozpublica.id - Kisah cinta Yurike Sanger dan Soekarno bermula dari sebuah pertemuan yang tak disangka-sangka, yang kemudian menjadi bab penting dalam sejarah asmara Bung Karno. Kisah ini menyimpan nuansa politik, budaya, dan tantangan zaman, yang membuatnya bukan hanya sekadar cerita cinta pribadi, melainkan juga bagian dari narasi bangsa.
Yurike Sanger lahir di Poso, Sulawesi Tengah, pada 22 Mei 1945, dari keturunan Jerman dan Manado. Pada tahun 1963, Yurike masih duduk di bangku SMA. Ia tergabung dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, sebuah kelompok yang bertugas menyambut tamu kenegaraan dengan mengenakan pakaian adat.
Pertemuan pertama mereka terjadi dalam sebuah acara kenegaraan, ketika Yurike bertugas menyambut tamu negara. Yurike nampak mengenakan kebaya nan anggun menawan.
Bung Karno, yang saat itu sudah menjadi Presiden Republik Indonesia, terpikat oleh sosok Yurike, sikapnya sebagai anggota pagar Bhinneka Tunggal Ika, hingga cara Yurike membawa diri di acara formal tersebut.
Karena tinggi badan dan postur Yurike, Bung Karno sempat mengira bahwa Yurike adalah seorang mahasiswi, bukan siswi SMA.
Sejak saat itu, perhatian khusus mulai muncul. Bung Karno pernah mengantar Yurike pulang, mengajak berbincang, bahkan memberi tanda kasih berupa hadiah kecil seperti kalung. Hal-hal ini menyuburkan benih cinta di antara keduanya.
Dalam sebuah biografi berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adams dan terbit pada 1965, Soekarno pernah mengungkapkan dirinya sebagai seorang “maha pecinta.” Ungkapan ini memperlihatkan bagaimana cinta dan kasih sayang menjadi bagian besar dari kepribadiannya.
Pernyataan tersebut juga menjelaskan mengapa perjalanan hidup Bung Karno kerap diwarnai oleh kisah romantis, termasuk pertemuannya dengan Yurike Sanger.
Dengan sifat penuh kasih inilah Bung Karno mampu menumbuhkan hubungan yang hangat dengan Yurike, meskipun usia mereka terpaut jauh. Bagi Bung Karno, cinta bukan sekadar soal romantisme pribadi, melainkan juga bagian dari energi hidup yang menemaninya dalam menjalankan tanggung jawab besar sebagai pemimpin bangsa.
Setelah beberapa waktu menjalin kedekatan, kisah cinta Yurike Sanger dan Soekarno mencapai titik penting: pernikahan. Pada 6 Agustus 1964, Yurike secara resmi menjadi istri ke-7 Soekarno. Saat itu Yurike baru berusia sekitar 19 tahun, sedangkan Bung Karno sudah berusia 64 tahun—menunjukkan selisih usia sekitar 45 tahun.
Pernikahan tersebut dilakukan secara Islam di rumah Yurike. Meski demikian, banyak tantangan yang harus dihadapi. Situasi politik Indonesia saat itu sedang panas, hubungan pribadi harus dijaga agar tidak terlalu menjadi sorotan publik, sementara Bung Karno sendiri mulai menghadapi tekanan besar di dalam negeri.
Yurike juga merasakan masa-masa sulit. Ia pernah hamil, namun kandungannya bermasalah hingga harus dioperasi dan sayangnya janin tidak bisa diselamatkan. Selain itu, karena Bung Karno memiliki banyak istri dan tanggung jawab negara, perhatian yang diterima Yurike kerap terbatas. Ia harus berbagi waktu dengan protokol, pertemuan kenegaraan, serta urusan politik yang mendesak.
Kisah cinta Yurike Sanger dan Soekarno tidak bertahan lama dalam ikatan pernikahan. Setelah empat tahun bersama, pasangan ini resmi berpisah pada 1968. Perceraian itu terjadi di tengah situasi politik yang sangat genting: pasca peristiwa G30S, Bung Karno kehilangan banyak pengaruh politik hingga akhirnya jatuh dari kekuasaan.
Konon, Bung Karno sendiri menyarankan Yurike untuk mengajukan perceraian agar ia tidak ikut merasakan penderitaan akibat tekanan politik yang semakin berat. Meski hubungan keduanya dilandasi cinta, kenyataan politik membuat mereka harus berpisah.