5 Contoh Kesepakatan Kelas yang Efektif dan Mudah Diterapkan

JAKARTA, vozpublica.id - Inilah 5 contoh kesepakatan kelas bisa menjadi referensi penting bagi guru maupun siswa dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, tertib, dan saling menghargai. Di awal tahun ajaran, banyak guru berinisiatif mengajak siswa menyusun aturan kelas bersama.
Ini bukan sekadar formalitas, tapi bagian dari proses membangun rasa memiliki dan tanggung jawab siswa terhadap aturan yang mereka sepakati sendiri.
Kesepakatan kelas berbeda dari tata tertib sekolah yang bersifat umum dan top-down. Ia bersifat partisipatif, fleksibel, dan bisa disesuaikan dengan karakteristik kelas. Melibatkan siswa secara aktif dalam merumuskan aturan terbukti dapat meningkatkan kedisiplinan, mempererat hubungan antar siswa, dan mendorong iklim belajar yang positif.
Berikut ini adalah 5 contoh kesepakatan kelas yang bisa diterapkan dengan mudah, dilengkapi penjelasan dan tips implementasinya.
Kesepakatan pertama yang sering diajukan siswa adalah tentang kehadiran tepat waktu. Poin ini sangat penting karena menjadi pondasi dari sikap disiplin. Contoh bunyinya:
“Semua siswa datang ke kelas sebelum bel masuk berbunyi. Bila terlambat lebih dari 3 kali dalam sebulan tanpa alasan jelas, akan diberi teguran atau tugas tambahan.”
Agar efektif, kesepakatan ini perlu dikaitkan dengan tanggung jawab pribadi siswa, bukan semata-mata hukuman. Misalnya, guru bisa menyiapkan buku catatan keterlambatan yang dicatat oleh siswa piket sendiri. Dengan begitu, siswa merasa terlibat dalam proses pengawasan.
Menjaga kebersihan bukan hanya tugas petugas kebersihan. Dalam kesepakatan kelas, siswa biasanya setuju untuk menyusun jadwal piket secara bergilir. Contoh redaksinya:
“Setiap siswa menjalankan tugas piket sesuai jadwal. Jika tidak hadir saat giliran piket tanpa alasan yang jelas, wajib mengganti hari piket dan membantu piket hari berikutnya.”
Agar sistem ini berjalan, guru bisa membantu membentuk tim piket yang memiliki koordinator dan daftar tugas jelas: menyapu, menghapus papan, merapikan kursi, hingga mengecek jendela tertutup saat pulang.
Suasana belajar yang sehat lahir dari komunikasi yang baik. Kesepakatan tentang saling menghargai perlu dibuat dengan bahasa yang inklusif dan bisa dipahami siswa. Contoh kesepakatannya:
“Saat ada teman atau guru berbicara, siswa lain mendengarkan dengan penuh perhatian dan tidak memotong pembicaraan.”
Untuk memperkuat kebiasaan ini, guru bisa memodelkan perilaku menghargai saat diskusi, seperti memberi waktu bicara secara bergilir dan mengucapkan terima kasih atas kontribusi siswa. Ini akan membentuk budaya diskusi yang sehat dan saling mendukung.
Kejujuran adalah nilai utama yang ingin ditanamkan lewat kesepakatan kelas. Salah satu bentuk nyata dari integritas ini adalah tidak menyontek saat ujian atau mengerjakan tugas. Contohnya:
“Kami sepakat untuk mengerjakan ujian dan tugas dengan usaha sendiri tanpa menyalin jawaban dari orang lain.”
Guru bisa memperkuat poin ini dengan membuat sistem yang mendorong kejujuran, seperti menyiapkan dua versi soal, memberi waktu cukup untuk belajar, dan memberikan apresiasi bagi siswa yang jujur meski nilainya belum maksimal.
Kesepakatan bukan hanya soal aturan, tapi juga tentang kesediaan menerima konsekuensi ketika melanggar. Ini bisa menjadi latihan tanggung jawab dan refleksi. Contoh rumusannya:
“Setiap siswa bersedia menerima teguran, peringatan tertulis, atau tugas sosial bila melanggar kesepakatan yang sudah disetujui bersama.”
Tugas sosial di sini bisa berarti membersihkan perpustakaan, membantu guru piket, atau membuat refleksi tertulis tentang kesalahan dan perbaikan yang akan dilakukan. Pendekatan ini lebih mendidik daripada sekadar menghukum.