Kegiatan hari Kamis yang dilakukan Pakubuwono X tersebut ternyata warisan pendahulunya, yang kemudian dilakukan secara turun-menurun. Dalam bahasa Jawa, Kamis dibaca Kemis. Lalu muncullah istilah untuk mengharap berkah di hari Kemis tersebut yaitu ngemis. Sementara rakyat yang sering menunggu pemberian dari raja dikenal dengan istilah wong ngemis.
Dulu, pengemis tidak dikenal sebagai peminta-minta, melainkan pengharap berkah di hari Kamis. Kata pengemis muncul pertama kali di Koran Bromartani pada 1895, dalam laporan yang memuat tentang kegiatan Kamis sore Pakubuwono X. Pemberian sedekah Pakubuwono X ini juga tertulis dalam Serat Sri Karongron pada 1914.
Pakubuwono X meninggal dunia pada 1939. Tradisi Kemisan pun tidak hanya muncul pada hari Kamis saja, tetapi dilakukan pada hari apa saja. Pada akhirnya, wong ngemis mengalami perubahan makna di tengah masyarakat.
Sebelumnya, wong ngemis berarti menerima sedekah dari seorang pemimpin di hari Kamis. Saat ini berubah menjadi orang yang meminta-minta dari orang lain. Makna wong ngemis pun diserap dalam bahasa Indonesia menjadi pengemis. Ada beberapa faktor seseorang menjadi pengemis, mulai dari faktor ekonomi, pendidikan, ketergantungan hingga lingkungan.