Dalam konteks perdagangan, sikap pasif ini juga terlihat. Sejumlah komoditas strategis Indonesia seperti karet, tekstil, dan kelapa sawit (CPO) masih menghadapi tantangan besar di pasar AS. Namun, belum ada lobi aktif yang dilakukan untuk meraih pengecualian tarif atau penundaan sanksi ekonomi. Negara-negara lain bahkan mampu memanfaatkan seminar, suara dari think-tank, akademisi, hingga diaspora untuk menekan dan memengaruhi opini publik serta elite di Washington. Indonesia, sebaliknya, masih bertumpu pada diplomasi formal dan administratif yang kerap kali lamban dan tidak strategis.
Kita belum berhasil membangun narasi yang meyakinkan bahwa stabilitas dan kemakmuran Indonesia juga penting bagi kepentingan strategis Amerika Serikat. Padahal, dalam konteks Indo-Pasifik, Indonesia punya posisi geografis dan demografis yang sangat strategis—jembatan antara Samudra Hindia dan Pasifik, negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, serta pasar dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia. Semua ini adalah kekuatan potensial yang selama ini belum sepenuhnya dioptimalkan dalam diplomasi.
Di sinilah titik kritisnya. Diplomasi Indonesia selama ini terlalu administratif, belum menjadi kekuatan strategis nasional. Diplomasi kita belum menjelma sebagai orkestrasi menyeluruh dari kekuatan bangsa. Pemerintah, pelaku usaha, kalangan akademik, media, dan diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai negara belum bergerak serentak membentuk ekosistem diplomatik yang solid. Kita sering kali menunggu arahan atau reaksi, alih-alih memimpin dengan gagasan dan inisiatif.
Kegagalan mengamankan posisi dalam kebijakan tarif AS, serta ketidakhadiran figur Duta Besar AS di Jakarta, seharusnya menjadi pelajaran penting. Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan birokratis dalam dunia yang semakin kompleks dan cepat berubah. Indonesia perlu menyusun ulang pendekatan diplomatiknya dengan Amerika Serikat: dari yang bersifat pasif menjadi proaktif, dari administratif menjadi strategis, dan dari terfragmentasi menjadi terkoordinasi secara nasional.
Dengan potensi besar yang kita miliki, Indonesia seharusnya bisa tampil bukan sekadar sebagai mitra yang hadir, tetapi sebagai mitra yang penting yang mampu menunjukkan nilai tambah bagi stabilitas kawasan dan kepentingan strategis negara mitra seperti Amerika Serikat. Inilah saatnya diplomasi Indonesia naik kelas.