Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Associate Professor, International Relations Study Program, President University
PRESIDEN Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang tatanan perdagangan internasional dengan kebijakan tarif barunya. Dalam pidato kenegaraan yang disampaikan baru-baru ini, Trump mengumumkan penerapan tarif impor sebesar 10 persen untuk produk umum, dan hingga 54 persen bagi negara-negara yang dianggap memiliki hambatan perdagangan besar. China menjadi target utama dengan tarif tertinggi, sementara negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Laos juga turut terkena imbas dengan tarif antara 46 hingga 49 persen.
Langkah ini dengan cepat memicu perhatian internasional. Banyak pengamat menilai kebijakan ini bukan sekadar tindakan ekonomi, melainkan bagian dari strategi geopolitik yang ditujukan untuk membendung pengaruh China serta memukul rantai pasok alternatif di kawasan Asia Tenggara. Dalam konteks ini, Indonesia mungkin tampak "selamat" karena tidak disebut secara langsung. Namun, satu gejala penting perlu disoroti, kekosongan posisi duta besar AS untuk Indonesia yang hingga kini belum terisi.
Bagi dunia diplomasi, ketidakhadiran seorang dubes bukan sekadar urusan administratif, melainkan sinyal kuat tentang prioritas hubungan bilateral. Dari perspektif realisme dalam hubungan internasional, ketertarikan strategis AS terhadap Indonesia kini tidak berada dalam daftar teratas, terutama jika dibandingkan dengan fokus Washington pada isu Laut China Selatan, Taiwan, dan hubungan dengan sekutu utama seperti Jepang dan Filipina. Indonesia tampaknya tidak cukup "mendesak" bagi Washington untuk segera menempatkan figur penting di Jakarta.
Namun, hal ini bukan sepenuhnya salah pihak AS. Diplomasi Indonesia pun belum menunjukkan upaya signifikan untuk meningkatkan bobot hubungan ini. Padahal, Indonesia bisa dan seharusnya menyuarakan pentingnya kehadiran seorang dubes melalui berbagai kanal, baik jalur diplomatik resmi, pertemuan bilateral, hingga forum multilateral seperti Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Diamnya Indonesia justru bisa dimaknai sebagai tanda bahwa hubungan ini tidak menjadi prioritas dari sisi kita sendiri.