Sistem AI tak mampu menilai niat. Tapi apa dasar hukuman lebih berat yang dijatuhkan itu, juga tak dapat dijawab oleh pegawai pengadilan. Banding yang diajukan sang residivis, justru memperkuat keputusan yang diberikan sistem berbasis AI. Transparansi penetapan hukuman gagal.
Keadaan di atas dapat dijelaskan, AI mempertimbangkan keputusannya secara kompleks. Bahkan variabelnya tak terduga. Deep learning yang belum sepenuhnya dipahami cara kerjanya, dapat menghasilkan wawasan-wawasan baru yang terbentuk oleh keadaan kuantitatif data. Brand processor komputer yang digunakan peserta lelang ketika mengirimkan dokumen pendaftaran, dapat dikuantifikasi dengan brand sejenis terhadap peluangnya menyelesaikan pekerjaan pemasokan. Tentu panitia lelang tak dapat menjelaskan variabel "brand processor" ini, sebagai penduga kinerja pemasok. Namun, robot AI mempertimbangkan itu. Karenanya, bakal muncul adanya peserta lelang yang tampak memenuhi semua persyaratan sebagai pemasok tapi ditolak.
Sebaliknya yang tak terlalu unggul memenuhi persyaratan, justru diterima. Terhadap keputusan semacam ini, panitia tak selalu mampu menjelaskan. Prinsip transparansi gagal dipenuhi dalam proses pengadaan menggunakan robot AI. Namun, dengan dua kemungkinan AI blackbox di atas, tak seharusnya Pemerintah Albania maupun negara lain di dunia, yang berniat memberantas korupsi pada aktivitas pengadaan, menyurutkan langkah.
Penggunaan robot AI untuk memberantas korupsi adalah pemutus lingkaran setan penanganannya yang tak berujung. Ini senada dengan ungkapan berbagai media yang dikumpulkan Kristi Ceta, 2025, dalam "Diella, The First Minister Created by AI - How does The World Media React to Albania's Virtual Official?". Reuters menulis, menteri baru ini bertanggung jawab atas pengadaan publik dan tak lemah terhadap suap, ancaman, atau upaya memengaruhi pengambilan keputusan. Ini karena Diella adalah robot yang diciptakan dengan kecerdasan buatan.
Demikian pula The Guardian yang menyebut Albania menunjuk 'menteri' yang diciptakan dari AI untuk memimpin pengadaan publik. Keputusannya merupakan transformasi dalam menjalankan kekuasaan administratif. Teknologi tak sekadar alat, tetapi peserta aktif dalam tata kelola pemerintahan.
Lalu bagaimana dengan kelemahan AI yang mengadang? Tetap melibatkan manusia sebagai pendamping. Diella tak seharusnya dibiarkan bekerja sendiri. Harus ada pertimbangan yang juga diberikan manusia. Apakah ini artinya membuka kembali pintu subjektivitas? Ini soal porsi saja, tinggal diatur berapa persen pertimbangan robot AI dan berapa persen pertimbangan manusia hingga tercapai keputusan finalnya.
Di sini, peran manusia masih penting. Yang disingkirkan hanya korupsinya.