Tarif resiprokal diterapkan sebagai strategi pembalasan untuk melawan ketidakseimbangan perdagangan dengan negara lain.
Tidak jelas bagaimana dasar penghitungan yang dilakukan Gedung Putih dalam menentukan besaran tarif terhadap suatu negara, sebagaimana ditunjukkan Trump dalam papan di Gedung Putih. Namun angka-angka yang dihitung oleh para pakar ekonomi dari Council of Economic Advisers itu mencakup manipulasi mata uang dan hambatan perdagangan.
Ryan Sweet, ekonom senior Oxford Economics, mengatakan pendekatan tarif resiprokal tersebut jauh lebih agresif daripada yang diperkirakan banyak ekonom dan pasar.
"Pemerintahan Trump pada dasarnya melemparkan berbagai tarif kepada mitra dagang kita. Ini akan membuat ekonomi terpuruk, tapi bukan pukulan telak. Saya kira ini tidak menjamin resesi, tapi ekonomi akan merasakannya. Konsumen akan merasakannya. Produsen akan merasakannya," katanya, kepada USA Today, dikutip Jumat (4/4/2025).
Tarif berlaku sebagai pajak yang dikenakan pada barang yang diimpor dari negara lain. Perusahaan yang mengimpor barang tersebut cenderung membebankan sebagian dari biaya tersebut kepada konsumen.
Itulah sebabnya para ekonom memperingatkan, tarif dapat bersifat inflasi. Beberapa ekonom memperkirakan rumah tangga berpenghasilan rendah akan merasakan dampak terbesar.
"Pendapatan pajak dan kenaikan harga dari tarif akan mengurangi daya beli konsumen, yang akan membebani pertumbuhan ekonomi dan perekrutan pada sisa tahun 2025.