JAKARTA, vozpublica.id - Ekonom meragukan data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen di kuartal II 2025. Angka tersebut dianggap tidak mencerminkan kondisi ekonomi riil, mengingat beberapa indikator makro yang justru menunjukkan tren melemah.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira ada beberapa data BPS yang janggal dan tak konsisten dengan kondisi di lapangan.
Ia menyoroti perbedaan signifikan antara data pertumbuhan industri pengolahan versi BPS dan data PMI Manufaktur. Dari data BPS, industri pengolahan tumbuh 5,68 persen yoy, sedangkan PMI Manufaktur pada akhir Juni 2025 justru turun dari 47,4 menjadi 46,9.
"Jadi penjelasannya apa? Bagaimana mungkin PHK massal di padat karya meningkat, terjadi efisiensi dari sektor industri, penjualan semen turun, bahkan di sektor hilirisasi juga smelter nikel ada yang berhenti produksi tapi industri tumbuh tinggi?" ujar Bhima kepada vozpublica.id, Selasa (5/8/2025).
Bhima juga mempertanyakan data konsumsi rumah tangga yang tumbuh hanya 4,97 persen. Sebab, dengan kontribusinya yang mencapai 54,2 persen terhadap PDB, idealnya konsumsi tumbuh di atas 5 persen agar total pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,12 persen.
Oleh karena itu, ia menilai ada beberapa hal yang membuat masyarakat ragu akan kebenaran data dari BPS tersebut.