Ketika Gaji Guru Kalah dari Juru Parkir

Didi Irawadi Syamsuddin
Pengacara, Penulis, Politisi
GURU selalu dipuji sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Ucapan manis itu sering dilontarkan pejabat di depan kamera, sambil tersenyum lebar di Hari Guru, atau kerap di atas panggung kampanye presiden atau DPR. Tapi setelah acara usai? Guru tetap harus hidup dengan gaji pas-pasan, mengajar di ruang kelas yang bocor, gaji minim dan tanpa perlindungan kesejahteraan yang layak. Julukannya mulia, tapi nasibnya tetap sengsara.
Lihatlah guru honorer. Ada yang mengajar penuh waktu, tapi gajinya hanya ratusan ribu rupiah per bulan—bahkan kalah dengan upah juru parkir. Bertahun-tahun mereka mengabdi, namun status ASN tak kunjung datang. Ironinya, di pundak merekalah masa depan anak-anak bangsa dipertaruhkan.
Beban administrasi? Jangan ditanya. Guru lebih sibuk mengisi laporan, unggah dokumen, hingga tanda tangan digital yang serba ribet. Katanya demi digitalisasi pendidikan, tapi faktanya lebih sering jadi digitalisasi penderitaan. Di sekolah pelosok, internet pun masih dianggap barang mewah. Jadi, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari sistem ini?
Distribusi guru juga kacau. Di kota, guru menumpuk; di pedalaman, anak-anak belajar tanpa guru tetap. Ketidakadilan ini dibiarkan begitu saja. Sementara itu, jika ada guru yang menegakkan disiplin, bukannya dilindungi, malah berisiko dipolisikan.