Sejarah Jalan TB Simatupang: dari Kebun Tebu Era Kolonial Jadi Jalan dengan Macet Terparah di Jakarta

JAKARTA, vozpublica.id - Sejarah Jalan TB Simatupang bukan hanya sekadar kisah pembangunan infrastruktur, melainkan juga refleksi perubahan fungsi dan dinamika urban Jakarta. Jalan sepanjang lebih dari 10 km ini kerap menjadi sorotan publik karena kemacetannya yang sering viral di media sosial.
Kondisi padat kendaraan pada jam-jam sibuk, bahkan hingga larut malam, menjadikan TB Simatupang sebagai salah satu ikon kemacetan Jakarta. Namun di balik citra jalan yang penuh macet itu, terdapat perjalanan sejarah yang kaya dan sarat makna, baik dari sisi perencanaan kota, penghormatan terhadap tokoh nasional, hingga jejak arkeologis masa lampau.
Dalam kajian urban, Jalan TB Simatupang sering diposisikan sebagai contoh penting arteri kota modern. Penelitian berjudul “A Case Study of T.B. Simatupang Road and JORR Toll Off” (Everant, 2025) menegaskan bahwa jalan ini bukan hanya jalur biasa, melainkan arteri utama di Jakarta Selatan. Jalan ini memegang peranan vital dalam konektivitas antarwilayah, terutama sejak dibangunnya jaringan Jakarta Outer Ring Road (JORR).
Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana TB Simatupang menjadi jalur yang menghubungkan kawasan bisnis, permukiman, hingga fasilitas publik.
Jalan TB Simatupang direncanakan sebagai jalan arteri utama, bukan kawasan perkantoran atau komersial. Tujuannya adalah mengurai beban lalu lintas di pusat kota dan membuka akses dari Jakarta Timur menuju Selatan. Rencana ini erat kaitannya dengan pembangunan jaringan Jakarta Outer Ring Road (JORR) pada 1990-an, khususnya ruas selatan.
Tol JORR bagian selatan mulai dibangun sekitar tahun 1995, dan Jalan TB Simatupang menjadi jalur penting yang mengarahkan arus kendaraan dari timur ke selatan tanpa harus melewati pusat kota. Kehadiran jalan ini menjadi bagian integral dari strategi besar mengurangi beban kemacetan Jakarta.
Nama TB Simatupang dipilih untuk menghormati Letnan Jenderal Tahi Bonar Simatupang, tokoh militer yang berperan penting dalam Revolusi Nasional Indonesia. Ia menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata RI setelah wafatnya Jenderal Soedirman pada 1950–1953.
Simatupang dikenal sebagai pemimpin yang menekankan profesionalisme militer dan berpikir jauh ke depan. Pada 2013, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya. Dengan demikian, jalan ini tidak hanya sekadar infrastruktur, tetapi juga monumen hidup yang mengabadikan jasa seorang patriot bangsa.
Awalnya berperan sebagai jalan arteri, TB Simatupang kemudian berkembang menjadi kawasan komersial. Sepanjang jalurnya berdiri gedung-gedung kementerian, rumah sakit besar seperti RS Fatmawati dan RSUD Pasar Minggu, hingga pusat perbelanjaan seperti Cilandak Town Square.
Transformasi ini membawa dampak ganda. Di satu sisi, kawasan ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Namun di sisi lain, tingginya volume kendaraan pribadi dan komersial membuat TB Simatupang menjadi salah satu titik macet paling kronis di Jakarta, terutama pada jam kerja.
Selain kendaraan pribadi, Jalan TB Simatupang juga menjadi jalur penting transportasi publik. Sejumlah halte Transjakarta berdiri di sepanjang ruas ini, seperti di Kampung Rambutan, Tanah Merdeka, hingga Simpang Ragunan. Rute bus Transjakarta menghubungkan kawasan ini dengan Blok M, Kampung Melayu, hingga Pasar Baru.
Selain itu, berbagai trayek angkot, Metromini, bus kota, hingga bus antar-kota (AKAP) turut memanfaatkan jalan ini. Integrasi dengan Koridor 8 Transjakarta menjadikan TB Simatupang sebagai tulang punggung transportasi massal di Jakarta Selatan.