JAKARTA, vozpublica.id - Indonesia menghadapi tantangan dalam industri baja. Banjir impor baja murah dari China, menekan produsen dalam negeri. Kebijakan tarif tinggi untuk impor baja di Amerika Serikat menyebabkan produsen baja dari China mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia.
Belajar dari kasus Inggris, yang saat ini menghadapi krisis serius terhadap industri baja, ternyata menyimpan kemiripan dengan situasi yang dihadapi Indonesia. Salah satu kesamaan yang paling menonjol adalah soal persaingan dengan produk impor murah.
Yang juga sama adalah soal ketergantungan terhadap bahan baku dari luar negeri. Inggris, misalnya, saat ini hanya memiliki satu pabrik British Steel di Scunthorpe, yang masih memproduksi baja dari bijih besi. Sisanya lebih banyak mengandalkan baja hasil daur ulang atau impor bahan baku dari luar.
Menurut data Kementerian Perindustrian, kapasitas produksi baja nasional saat ini mencapai sekitar 17 juta ton per tahun, sementara kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 21 juta ton pada 2025. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan baja dalam negeri.
Jika seluruh agenda pembangunan industri, infrastruktur, dan manufaktur berjalan sesuai rencana, proyeksi kebutuhan baja Indonesia pada 2045 bahkan diperkirakan mencapai 100 juta ton per tahun. Gap antara kebutuhan dan pasokan dari produksi dalam negeri bisa jadi makin besar.
Editor: Yudistiro Pranoto