Banyak Ketimpangan, Di India Orang Kaya Makin Bergelimang Harta

Mereka gagal mengangkat tingkat melek huruf dan kesehatan negara tersebut, serta mempersiapkan penduduk dalam menghadapi tuntutan globalisasi. Sementara negara tetangganya, China cukup mulus mengatasi masalah tersebut.
"Ini sangat mengejutkan. India dulu sangat sosialis. Kemudian sekitar tahun 1991 banyak pembatasan aktivitas ekonomi telah dihapus. Hal ini sangat meningkatkan peluang sukses bagi mereka yang siap memanfaatkan peluang. Sekarang, tidak seperti China, yang telah menggunakan era komunis untuk benar-benar memperbaiki pendidikan, gizi, dan perawatan kesehatan untuk masyarakat luas, India tidak melakukan hal itu. India memiliki tingkat ketidaksetaraan yang sangat tinggi sebelum reformasi 1991. Jadi, ketika reformasi memperluas peluang untuk sukses, hanya sebagian kecil orang India yang bisa memanfaatkan peluang baru tersebut. Sisanya, dan tetap tidak berpendidikan, tidak sehat, dan tidak produktif," kata LIU POST Economics Professor Udayan Roy.
Meskipun pemerintahan Modi tidak boleh disalahkan karena peningkatan ketidaksetaraan pendapatan sebelum menduduki jabatan, namun dapat dikritik karena membiarkan anak-anak India menjadi lebih lapar daripada Korea Utara yang dipimpin Kim Jon Un.
Itu menurut Indeks Kelaparan Global (Globar Hunger Index/GHI) yang baru-baru ini diterbitkan, yang menempatkan India 100 dari 119 negara yang disurvei. Itu tujuh tingkat di bawah Korea Utara, dan tujuh tingkat di atas Afghanistan.
Indeks mencakup empat komponen, yakni kekurangan gizi, angka kematian anak, penyianyiaan anak, dan stunting anak. Survei tersebut menemukan kenyataan bahwa proporsi anak-anak dengan gizi buruk di India cukup tinggi.
Pemerintahan Modi selanjutnya harus dikritik karena penurunan besar dalam persentase orang India yang menganggap positif terhadap perkembangan yang terjadi di negaranya. Investor juga harus memerhatikan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan yang meningkat di India. Sebab, ketidaksetaraan pendapatan bersamaan dengan korupsi yang kronis merupakan ancaman terbesar bagi pertumbuhan ekonomi dan kinerja pasar saham.
Editor: Ranto Rajagukguk