Vanenburg mencontohkan negara-negara besar seperti Belanda, Spanyol, hingga Korea Selatan. Dengan sistem yang kuat, negara-negara itu seolah tidak pernah kehabisan talenta muda yang siap dipoles. Bakat ditemukan sejak kecil, dibina secara berjenjang, lalu dimatangkan melalui pemusatan latihan.
“Nanti ketika bakat sudah ditemukan, akan disaring dan dites lagi. Dengan sedikit polesan dan waktu pemusatan latihan, bakat-bakat itu dimatangkan hingga menjadi tim yang solid sejak usia muda,” tegasnya.
Dia menilai, dengan sistem yang terstruktur, pemain muda akan terbiasa dengan atmosfer kompetisi. Mental, keterampilan, hingga fisik mereka akan terbentuk lebih cepat. Pada akhirnya, kualitas itu menjadi bekal kuat ketika melangkah ke level U-23 hingga senior.
Vanenburg juga menegaskan bahwa kualitas individu saat ini sebenarnya sudah cukup baik. Hanya saja, tanpa kompetisi yang masif sejak usia dini, pembinaan akan berjalan timpang.
“Kita sudah memiliki tim yang sangat bagus, secara kualitas sudah oke, tapi kita harus memulai kompetisi dari usia dini dari 11, 12, 13, dan seterusnya,” tandasnya.
Sebagai catatan, Indonesia gagal melaju ke putaran final Piala Asia U-23 2026 setelah kalah tipis 0-1 dari Korea Selatan di Stadion Gelora Delta Sidoarjo pada Selasa (9/9/2025). Hasil itu mengubur mimpi Garuda Muda mengulang prestasi dua tahun lalu ketika mampu menembus semifinal usai menyingkirkan Korea Selatan lewat drama adu penalti.