Arta Elisabeth Purba
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Institut Bisnis Nusantara
ADA ragam pengorbanan yang dibayar untuk menghasilkan jurnalisme berkualitas, mulai dari biaya, waktu, tenaga, hingga mempertaruhkan nyawa. Meskipun ada ungkapan "tidak ada berita seharga nyawa" sebagai nasihat bagi jurnalis untuk selalu mengutamakan keselamatan diri, tidak sedikit jurnalis gugur dalam tugas karena mengkritik kebijakan penguasa yang menindas dan merugikan masyarakat.
Beberapa yang masih mampu mempertahankan nyawanya ketika peliputan dibayang-bayangi malakul maut yang punya kuasa untuk mengancam nyawanya atau nyawa orang terdekatnya kapan pun dan di mana pun.
Salah satu kejadian tragis pascapeliputan yang baru-baru ini viral menimpa seorang jurnalis di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Sempurna Pasaribu (47). Dia meninggal terbakar di rumahnya pada Kamis (27/6/24) pukul 03.00 WIB.
Ironisnya, sebagai konsekuensi profesi, bukan nyawanya saja yang diincar, melainkan juga tiga anggota keluarganya yang turut meninggal sekaligus pada waktu dan lokasi yang sama. Dugaan sementara tentang motif pembunuhan ini dipicu tulisan Sempurna dalam tiga serial yang tayang selama tiga hari sejak 21-23 Juni 2024 tentang perjudian di rumah oknum TNI yang meresahkan warga. Apakah sebuah kebetulan dengan bunyi draf revisi Undang-undang Penyiaran tertanggal 27 Maret 2024 khususnya Pasal 50B ayat (2) yang memuat ‘larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi’?
Tampaknya para pemangku kepentingan terganggu dengan karya pelaporan investigatif yang berpeluang membongkar kebijakan absurb yang merugikan masyarakat. Apakah membungkamnya melalui revisi Undang-Undang Penyiaran merupakan cara elegan?