Saat itu kata Purbaya, banyak orang menyatakan bahwa kredit tidak bisa tumbuh sebelum ekonomi membaik. Sebagai jalan keluar, pihaknya menyuntikkan dana segar pada sistem keuangan medio Mei 2021.
"(Hasilnya) Cukup signifikan, M0 (uang beredar) tumbuh double digit. Dalam waktu yang hampir bersamaan, kredit juga tumbuh. Teorinya begini, ini berhubungan dengan opportunity cost of money. Kalau opportunity cost of money turun, bunga turun, uang ada, orang yang punya uang jadi nggak sayang belanja lagi,," tuturnya.
Begitu pun perusahaan yang ingin melakukan ekspansi bisnis, tidak lagi takut meminjam uang dengan bunga mencekik ke perbankan. Justru kata dia, saat itu menjadi momentum untuk ekspansi bisnis. Dia pun meyakini, kredit dapat kembali tumbuh dengan kebijakan terbarunya, mengingat perilaku sistem perekonomian tidak berubah.
"Jadi dia nggak akan berubah-rubah. Itu akan berubah mungkin setelah ada perubahan generasi satu generasi, dua generasi. Setelah kebiasaan anda berubah. Ini kan masih pelaku-pelaku sama dalam 10 tahun terakhir. Jadi kemungkinan besar responnya akan sama," ucap Purbaya.
Sebelumnya, pemerintah mengguyur dana untuk didepositokan ke perbankan Rp200 triliun. Kebijakan ini dilakukan untuk meningkatkan likuiditas perbankan agar kredit dapat tumbuh dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dana pemerintah yang disalurkan ke perbankan ini bukan berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA). Dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ini disalurkan ke lima bank milik pemerintah, yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Indonesia (BSI).