JAKARTA, vozpublica.id - Dewan Pers mengakui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran perlu direvisi. Hanya saja, revisi yang dilakukan seharusnya tidak menimbulkan wajah buruk demokrasi dan merenggut kemerdekaan pers.
"Kami juga paham bahwa UU Penyiaran ini sudah lama dibahas dan perlu ada revisi. Tetapi kemudian bukan berarti revisinya justru akan membuat wajah buruk dari demokrasi kita. ini berbahaya," ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana dalam diskusi bertajuk Menakar Urgensi RUU Penyiaran yang digelar Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta Selatan, Jumat (14/6/2024).
Dia mengatakan, ada sejumlah klausul yang ditolak Dewan Pers, salah satunya Pasal 8 huruf A. Dia berkata klausul itu memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menangani sengketa pers.
Kewenangan KPI itu kemudian dipertegas dalam Pasal 42.
"Mengapa kami menolak pasal ini? Karena jelas ini akan bertubrukan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, artinya ini akan ada tumpang tindih kewenangan. Nah ini yang berbahaya," kata Yadi.
Tak hanya itu, dia menegaskan pihaknya juga tidak sepakat dengan Pasal 50 huruf B yang melarang penayangan jurnalisme investigasi. Menurutnya, keberadaan klausul itu bisa memangkas kemerdekaan pers.