JAKARTA, vozpublica.id - Berapa lama darurat militer diterapkan? Ini adalah pertanyaan penting, terutama ketika negara menghadapi situasi genting seperti konflik bersenjata, kerusuhan, atau ancaman terhadap keutuhan nasional.
Situasi Indonesia belakangan ini yang diwarnai dengan demo ricuh membuat isu ini semakin relevan dibicarakan.
Menurut Perppu No. 23 Tahun 1959 (jo. UU tentang Keadaan Bahaya), durasi pemberlakuan darurat militer di Indonesia secara hukum dibatasi hingga enam bulan, dan untuk keadaan perang dapat diperpanjang hingga satu tahun (suara.com).
Peraturan mengenai durasi darurat militer diatur oleh Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya (Perppu No. 23/1959) yang memberi kewenangan kepada presiden untuk menyatakan darurat militer atau perang. Setelah pengumuman resmi, pemerintah wajib menyampaikan RUU kepada DPR selambat-lambatnya dalam 3 hari. Bila kondisi darurat berlangsung, pemerintah bisa memperpanjangnya — namun perpanjangan tetap tunduk pada kerangka hukum yang sama.
Secara umum, darurat militer diterapkan dengan durasi sebagai berikut:
Untuk kasus khusus, durasi bisa lebih singkat, contohnya darurat militer di Timor Timur hanya berlangsung sekitar 16 hari.
Darurat Militer Aceh (2003–2004)
Pada 19 Mei 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan darurat militer di Aceh untuk menghadapi konflik bersenjata dengan GAM. Durasi pemberlakuan sesuai ketentuan adalah enam bulan, yang kemudian digantikan oleh darurat sipil setelah kondisi stabil.
Darurat Militer Timor Timur (1999)
Area ini pernah dinyatakan darurat militer lewat Keppres No. 107 Tahun 1999 yang berlaku mulai 7 September 1999, dan kemudian dicabut melalui Keppres No. 112 Tahun 1999 pada 23 September 1999 — berarti kurang dari satu bulan.
Tercatat juga bahwa Presiden Soekarno pernah menetapkan darurat militer pada 14 Maret 1957 sebagai respons atas pemberontakan PRRI dan Permesta.
Selama pemberlakuan darurat militer, hak-hak sipil mengalami pembatasan serius, termasuk:
Pengambilalihan kekuasaan sipil oleh militer, termasuk penangkapan dan penahanan tanpa proses hukum biasa hingga 20 hari.
Pembatasan kebebasan pers, penyebaran informasi, dan mobilitas publik.
Kemungkinan kewajiban kerja atau pemindahan penduduk jika dianggap perlu keamanan.