MOSKOW, vozpublica.id - Gejolak demonstrasi yang melanda Indonesia belakangan ini dinilai bukan sekadar persoalan dalam negeri. Sejumlah pengamat geopolitik asing menilai kerusuhan tersebut memiliki pola yang mirip dengan “revolusi warna” di bekas negara pecahan Uni Soviet, di mana kekuatan eksternal dituding ikut berperan untuk mengguncang stabilitas pemerintahan.
Pengamat geopolitik Jeff J Brown mengatakan kepada kantor berita Rusia Sputnik, gejolak di Indonesia erat kaitannya dengan sikap Presiden Prabowo Subianto yang dianggap semakin menjauh dari orbit Barat. Ini terlihat dari langkah Indonesia bergabung dengan BRICS dan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), serta keterlibatan aktif dalam proyek global China seperti Belt and Road Initiative (BRI).
Prabowo terpaksa membatalkan kehadirannya di KTT SCO, Tianjin, China, karena fokus mengendalikan situasi dalam negeri. Hal ini, menurut analis, justru menunjukkan bahwa gejolak tersebut berhasil menekan ruang gerak diplomasi Indonesia di panggung internasional.
Menurut Brown, hal ini membuat Indonesia menjadi target empuk bagi upaya destabilisasi.
“G7 ingin melahirkan diktator baru yang bisa mereka kendalikan, seperti Soeharto di masa lalu. Tapi Prabowo tidak cocok dengan agenda itu,” ujarnya, dikutip Selasa (2/9/2025).
Brown menambahkan, Indonesia memiliki posisi strategis untuk diobok-obok, yakni negara dengan ekonomi terbesar kedelapan dunia dalam paritas daya beli (PPP), terbesar di ASEAN, serta penduduk hampir 300 juta jiwa.
“Semua faktor ini membuat Indonesia terlalu berharga bagi imperialisme Barat untuk dibiarkan lepas ke orbit BRICS,” ujarnya.