JAKARTA, vozpublica.id - Derasnya pengakuan negara Palestina oleh negara-negara Barat di forum Sidang Majelis Umum PBB ke-80 pekan ini menghidupkan kembali harapan bagi kemerdekaan yang telah lama diidam-idamkan. Namun pengakuan saja tidak serta merta menjadikan Palestina sebagai sebuah negara yang bebas dan merdeka.
Padahal saat ini sudah 145 negara yang mengakui Palestina di Majelis Umum PBB, lebih dari 50 lainnya belum memberikan dukungan, termasuk tentu saja Israel.
Dalam hukum internasional, pembentukan sebuah negara tidak semata-mata ditentukan oleh deklarasi atau pengakuan dari negara lain. Ada syarat-syarat mendasar yang harus dipenuhi agar suatu entitas politik dapat dianggap sebagai negara yang sah.
Meski demikian pengakuan merupakan salah satu aspek penting. Tanpa pengakuan, sebuah entitas politik yang memproklamirkan diri sebagai negara akan kesulitan menjalin hubungan diplomatik, melakukan perdagangan, maupun menjadi anggota organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dasar hukum internasional mengenai berdirinya sebuah negara dapat ditemukan dalam Konvensi Montevideo 1933, yang merumuskan empat syarat utama:
Sebuah negara harus memiliki wilayah tertentu, meski luas dan batasnya tidak selalu pasti sepenuhnya.
Negara harus memiliki komunitas manusia yang tinggal secara permanen di wilayah tersebut.
Harus ada otoritas yang berfungsi menjalankan pemerintahan, menegakkan hukum, serta menjaga ketertiban.
Sebuah negara harus bisa bertindak secara independen dalam hubungan luar negeri, bukan bergantung sepenuhnya pada entitas lain.
Pengakuan bisa dilakukan secara de jure maupun de facto:
De jure adalah pengakuan penuh secara hukum, yang berarti negara baru tersebut dianggap sah dan memiliki semua hak serta kewajiban internasional.
De facto adalah pengakuan sementara atau terbatas, biasanya ketika ada keraguan soal stabilitas pemerintahan atau kontrol teritorialnya.