TEHERAN, vozpublica.id - Ketegangan antara Iran dan Israel masih berada di titik rawan, meski pertempuran besar pada Juni lalu sudah berhenti. Pejabat tinggi Iran menegaskan pemerintahannya tengah menyiapkan skenario terburuk jika konfrontasi dengan Israel kembali pecah sewaktu-waktu, tanpa diduga-duga.
Wakil Presiden Iran Mohammad Reza Aref memperingatkan bahwa penghentian pertempuran pada 24 Juni bukanlah gencatan senjata resmi, melainkan sekadar jeda permusuhan. Karena itu, Iran diminta selalu waspada menghadapi potensi serangan baru.
“Kita harus siap setiap saat untuk konfrontasi. Saat ini, kita bahkan belum berada dalam kesepakatan gencatan senjata. Kita hanya menyepakati penghentian permusuhan,” ujarnya, dikutip Rabu (20/8/2025).
Nada serupa disampaikan Yahya Rahim Safavi, penasihat militer Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Ia menegaskan, Iran tidak menganggap situasi saat ini sebagai perdamaian, melainkan fase perang yang bisa meledak kapan saja.
“Kita saat ini tidak sedang berada dalam gencatan senjata. Tidak ada protokol, tidak ada peraturan, tidak ada kesepakatan antara kita dan Israel, atau antara kita dan Amerika,” tegas Safavi.
Luka Perang Belum Sembuh
Pertempuran Juni lalu meninggalkan luka mendalam bagi Iran. Serangan Israel menewaskan lebih dari 1.000 orang, termasuk komandan senior Garda Revolusi Islam (IRGC) dan ilmuwan nuklir penting. Situasi makin memanas ketika Amerika Serikat ikut membantu Israel dengan menghantam tiga fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Sebagai balasan, Teheran meluncurkan rudal dan pesawat tak berawak yang menargetkan wilayah Israel dan pangkalan militer AS di Qatar, menewaskan puluhan orang. Pertempuran baru berhenti setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan penghentian operasi militer pada 24 Juni.
Namun, karena tidak ada perjanjian resmi, konflik itu sewaktu-waktu bisa kembali pecah.
“Iran tidak akan memulai perang, tapi kami pasti membalas jika diserang,” kata sejumlah pejabat militer Iran.