JENEWA, vozpublica.id - Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengungkap Iran hampir memiliki kemampuan untuk membuat senjata nuklir. Iran keluar dari komitmennya dalam perjanjian nuklir Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), setelah Amerika Serikat menarik diri di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump pada 2018.
Dirjen IAEA Rafael Grossi menegaskan, pihaknya harus menjadi bagian dari setiap negosiasi program nuklir Iran. Saat ini Iran dan AS sedang melakukan perundingan, pertemuan pertama digelar di Oman pada Sabtu pekan lalu dan akan berlanjut pada akhir pekan ini, kemungkinan di Roma, Italia.
"Meskipun Iran memiliki cukup bahan untuk memproduksi, tidak hanya satu tetapi beberapa bom, Iran belum memiliki senjata nuklir. Tapi harus diakui, senjata nuklir tersebut tidak lama lagi," kata Grossi, kepada surat kabar Prancis, Le Monde, dikutip Kamis (17/4/2025).
Dia menambahkan, dalam 4 tahun terakhir terjadi percepatan luar biasa dalam pengayaan uranium oleh Iran.
Oleh karena itu, lanjut Grossi, IAEA, selaku pengawas nuklir PBB, tidak boleh dikecualikan dari perundingan nuklir apa pun dengan Iran, termasuk yang saat ini sedang berlangsung. AS diwakili utusan khusus Trump Steve Witkoff, sementara Iran oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Abbas Araghchi.
"Setiap perjanjian mengenai Iran hanyalah selembar kertas (tanpa persetujuan IAEA)," kata Grossi, menegaskan perundingan itu akan sia-sia.
Dia menambahkan meski tidak menjadi bagian dari perundingan tersebut, IAEA tidak akan mengacuhkannya. IAEA mengetahui persis apa yang terjadi di dalam fasilitas nuklir Iran sehingga berhak menyampaikan pandangannya.
Menurut Grossi, IEAE tetap memberikan pandangannya melalui pertukaran informasi secara informal dengan kedua pihak.
"Mereka tahu betul kami harus menyampaikan pendapat tentang setiap kesepakatan potensial, karena kamilah yang akan memverifikasinya. Oleh karena itu, kami telah memulai pertukaran informal dengan mereka," ujarnya.