JAKARTA, vozpublica.id - Kenapa babi haram dimakan? Pertanyaan ini sering muncul di kalangan umat Islam yang ingin memahami dasar larangan mengonsumsi daging babi dalam syariat Islam.
Larangan ini bukan hanya sekadar aturan, melainkan memiliki dasar kuat dari Al-Qur’an dan Hadis sahih, serta hikmah kesehatan dan spiritual yang mendalam.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 173:
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللّٰهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 173)
Larangan ini juga ditegaskan dalam Surat Al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah..." (QS. Al-Maidah: 3)
Demikian juga sabda beliau:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud).
Mayoritas ulama menjelaskan bahwa salah satu alasan utama pengharaman babi adalah karena sifat najisnya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Katakanlah: 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).'" (QS. Al-An'aam: 145)
Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan hikmah pengharaman ini dengan mengatakan bahwa babi diharamkan karena sifat makanannya yang buruk dan perilakunya yang tercela. Babi dikenal sebagai hewan yang memakan segala sesuatu tanpa pilih-pilih, termasuk kotoran dan barang-barang najis, sehingga mewarisi akhlak yang rendah dan buruk. (Kitab Al Ath’imah, hal. 40)
Penulis Tafsir Al Manaar juga menyatakan bahwa Allah mengharamkan daging babi karena najisnya. Babi sangat menyukai makanan kotor dan berbahaya bagi berbagai bagian tubuh manusia. Pengalaman empiris membuktikan bahwa mengonsumsi daging babi dapat menyebabkan penularan cacing berbahaya yang mematikan. Selain itu, babi juga diperkirakan memiliki pengaruh negatif terhadap sifat iffah (menjaga kehormatan) dan ghirah (rasa cemburu), yang merupakan sifat mulia dalam diri manusia. (Shohih Fiqh Sunnah, 2/339)