JAKARTA, vozpublica.id - Banjir Jakarta bukanlah fenomena baru. Bahkan, sejak zaman Kerajaan Tarumanegara hingga era modern, ibu kota Indonesia ini sudah akrab dengan genangan air, luapan sungai, dan proyek penanggulangan yang silih berganti. Lagu almarhum Benyamin Sueb yang menyebut “Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk,” seolah jadi narasi lintas generasi yang tak pernah kehilangan konteks.
Faktanya, banjir di Jakarta adalah warisan sejarah. Bukan hanya akibat cuaca ekstrem atau curah hujan tinggi, melainkan gabungan dari banyak faktor: drainase buruk, alih fungsi lahan, pendangkalan sungai, hingga persoalan sosial-politik.
Bencana banjir di Jakarta tercatat sudah terjadi sejak abad ke-5 Masehi. Di masa Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman menggagas kanal sepanjang 12 kilometer untuk mengendalikan banjir dan mengairi sawah. Proyek ini diabadikan dalam Prasasti Tugu, sebuah bukti bahwa sejak dulu Jakarta (dulu bagian dari wilayah Tarumanegara) sudah bersahabat dengan banjir.
Saat era kolonial Belanda, Batavia—nama lama Jakarta—juga menjadi langganan banjir. Meski Belanda membangun kanal meniru kota-kota di Eropa, tiga banjir besar tetap tercatat: 1872, 1893, dan puncaknya tahun 1918. Hujan selama 22 hari kala itu membanjiri kawasan Lapangan Banteng hingga Glodok, bahkan menjebol bendungan Sungai Grogol.
Proyek besar seperti Banjir Kanal Barat pun dimulai oleh pemerintah kolonial Belanda, dengan tokoh insinyur Herman van Breen di baliknya. Di Bogor, dia juga membangun Bendungan Katulampa untuk mengatur debit air ke hilir.