Bahkan baru-baru ini, catatan di laman IQAir sempat menunjukkan indeks kualitas udara di DKI Jakarta masih masuk kategori lima besar terburuk di dunia. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).
Berdasarkan data IQAir per 16 Agustus, empat kota dengan kualitas udara terburuk dunia terdiri dari Baghdad di peringkat pertama, Doha di peringkat kedua, Kuching di peringkat ketiga, dan Jakarta di peringkat keempat.
Kualitas udara yang buruk ini tentu menjadi perhatian banyak pihak, termasuk pemerintah. Bahkan Menteri ESDM ad interim Sandiaga Uno mengklaim, Presiden Joko Widodo batuk-batuk selama hampir empat minggu terakhir akibat kondisi udara Ibu Kota.
“Ibu Kota sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintah di Indonesia seharusnya memiliki kualitas udara yang terjaga demi memastikan roda ekonomi berjalan dengan baik," ujar Akbar.
CEO Saka Group dengan bisnis yang membidangi properti, konstruksi, serta perkebunan itu melanjutkan, saya mendengar bahwa kendaraan bermotor menyumbangkan 44 persen dari pemicu polusi udara di Ibu Kota. Dari mulai motor hingga mobil pribadi yang menggunakan bahan bakar bensin serta solar terus memenuhi jalan-jalan protokol di Ibu Kota setiap hari kerja.
“Dari situasi inilah maka terdapat urgensi pengalihan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik atau electric vehicle. Berdasarkan kalkulasi dari PLN disebutkan bahwa satu liter BBM yang digunakan kendaraan bermotor menyumbangkan sekitar 2,4kg CO2e dan 1,2 kWh kendaraan listrik hanya 1,3 kg CO2e. Dari sini bisa dilihat bahwa emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan listrik mampu diperkecil,” pungkas Akbar.
Dia menambahkan, urgensi pengalihan ke kendaraan listrik ini juga datang dari kondisi para pekerja dari kota-kota satelit Ibu Kota. Di mana mereka setiap hari bekerja di Jakarta dan tampaknya memprioritaskan penggunaan kendaraan pribadi dibandingkan menggunakan kendaraan umum.