Moms, Kenali Tiga Gangguan Mental Setelah Melahirkan

JAKARTA, vozpublica.id – Tidak sedikit perempuan yang terganggu mentalnya usai melahirkan, dari tingkat ringan hingga serius. Ini jangan diabaikan begitu saja, agar bisa dicarikan solusinya.
Perubahan yang dialami sang ibu setelah melahirkan, memang dapat memengaruhi kondisi psikologisnya. Anda pasti sering mendengar istilah baby blues. Sebesar 80 persen perempuan setelah melahirkan mengalami sindrom baby blues tersebut.
Namun jika dibiarkan, sindrom tersebut lama-lama bisa meningkat ke arah gangguan jiwa yang disebut pospartum depression atau depresi usai persalinan. Bahkan, kelainan itu bisa meningkat menjadi psikosis pospartum, sebuah gangguan kejiwaan serius yang dialami perempuan setelah melahirkan.
"Gangguan mental yang dialami ibu pascamelahirkan ada tiga, dari yang ringan, baby blues. Itu ditandai dengan emosi ibu yang naik turun, gampang tersinggung, marah, menangis terus," kata Psikolog Vera Itabiliana, ditemui iNews.id di acara “Orami Birth Club”, Pasific Place, Jakarta Pusat, Rabu (6/12/2017).
Namun, baby blues tergolong normal karena sebagian besar perempuan mengalaminya. Itu juga menjadi gangguan ringan karena berdurasi pendek, yakni sekira dua minggu hingga paling lama satu bulan.
"Berbeda dengan pospartum depression yang jangka waktunya hingga satu tahun," papar Vera.
Selain jangka waktu, perbedaannya juga terletak pada ciri-cirinya. "Ada rasa bersalah berlebih pada si ibu, kecemasan yang berlebihan, dan cenderung tak wajar, tidak bisa tidur. Dan yang paling khas dari depresi, adalah ditandai dengan keinginan bunuh diri," jelasnya.
Hingga tingkatan yang paling parah, yakni psikosis pospartum. "Gangguan ini bisa menyerang siapa saja, tetapi langka. Dari 1.000 perempuan, hanya ada satu atau dua. Kalau ciri-cirinya itu, ada keinginan menyakiti bayi, semacam halusinasi atau delusi. Seperti ada bisikan yang bilang untuk menyakiti bayi," terangnya.
Faktornya pun macam-macam berdasarkan riwayat hidup, faktor internal si ibu, dan faktor eksternal atau lingkungan. Di antaranya memiliki gangguan kejiwaan sebelumnya seperti bipolar, riwayat keluarga, capek saat hamil, harapan tak sesuai realita, dan kurangnya dukungan dari orang terdekat, seperti pasangan dan keluarga.
Namun, bukan berarti masalah tersebut tak dapat diselesaikan, dicegah, atau disembuhkan. Ada cara tersendiri untuk menghindari perempuan dari gangguan tersebut.
"Intinya realistis, jangan memaksa diri harus perfect, antisipasi kemungkinan terburuk, bekali pengetahuan lengkap dan benar, minta bantuan orang lain, dan bergabung di komunitas yang memiliki pengalaman sama," pungkasnya.
Editor: Tuty Ocktaviany