Get vozpublica App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : PLN Buka Lowongan Kerja bagi Lulusan D3 sampai S2 di Seluruh Indonesia
Advertisement . Scroll to see content

Analisis Dampak Perjanjian Tarif AS–Indonesia pada Neraca Perdagangan

Selasa, 02 September 2025 - 11:00:00 WIB
Analisis Dampak Perjanjian Tarif AS–Indonesia pada Neraca Perdagangan
(Foto Ilustrasi/dok Freepik)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, vozpublica.id - Dalam beberapa pekan terakhir, Indonesia dan Amerika Serikat mencapai kesepakatan dagang baru yang menurunkan tarif impor Indonesia ke AS dari yang semula sebesar 32 persen menjadi hanya 19 persen, sedangkan hampir seluruh produk AS masuk ke pasar Indonesia tanpa tarif maupun hambatan sama sekali.

Di tengah ketidakpastian global dan tekanan geopolitik, kesepakatan ini muncul sebagai tonggak penting untuk mengurangi risiko bagi neraca perdagangan Indonesia dan membuka peluang baru investasi asing.

Sebelumnya, tarif 32 persen itu sangat membebani sektor ekspor non-minyak, terutama tekstil, alas kaki, dan elektronik yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia ke AS. Kini, dengan tarif tetap 19 persen, sektor-sektor tersebut masih cenderung merasakan tekanan margin, namun tidak seberat bila tarif ditetapkan pada tingkat yang lebih tinggi.

Pada saat yang sama, kebijakan ini menarik investor dan pelaku perdagangan valuta asing global untuk memantau perkembangan nilai tukar rupiah. HFM sebagai salah satu broker forex terkemuka menjadi pilihan banyak trader yang mencari platform tepercaya dan akses likuiditas tinggi di pasar global, seiring dengan respons pasar terhadap dinamika neraca perdagangan dan arus investasi asing yang meningkat.

Dampak terhadap neraca perdagangan Indonesia cukup signifikan karena pada 2024 Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan AS sekitar 17,9 miliar Dolar AS. Meskipun surplus ini tercermin positif dalam neraca, kenaikan tarif AS tetap berarti potensi kontraksi ekspor yang drastis.

Dengan tarif mendarat pada 19 persen, ekspor Indonesia seperti minyak kelapa sawit, tekstil, perikanan, dan mineral tetap dapat bertahan, meskipun margin keuntungan menurun dibanding era tarif minimal sebelumnya. Dalam konteks GDP Indonesia yang tumbuh antara 5–6 persen per tahun, kesepakatan ini bisa membantu menjaga momentum ekspor yang menjadi salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi.

Pada sisi impor dari AS, Indonesia kini membuka hampir 99 persen lini produk AS tanpa tarif serta menghapus hambatan non-tarif seperti persyaratan sertifikasi lokal, konten lokal, atau inspeksi prapengiriman. Hal ini memungkinkan produk seperti kendaraan bermerek AS, peralatan medis, bahan kimia, dan produk pertanian AS untuk memasuki pasar Indonesia lebih bebas.

Penurunan hambatan non-tarif ini bisa menekan harga konsumen, memperluas akses teknologi dan diversifikasi rantai pasok domestik. Sektor pertanian AS diproyeksikan akan meningkat ekspornya hingga 4,5 miliar Dolar AS, sementara energi AS bisa mencapai 15 miliar Dolar AS dalam komitmen pengadaan oleh Indonesia.

Penataan ulang struktur perdagangan semacam ini mengubah keseimbangan antara ekspor dan impor dalam jangka menengah. Jika sebelumnya neraca dagang mendukung rupiah, kini nilai tukar rupiah dapat dipengaruhi oleh peningkatan impor produk modal dan konsumsi dari AS. Namun di sisi lain, pembelian besar dalam energi dan pesawat Boeing senilai sekitar 15 miliar Dolar AS dan 50 unit pesawat Boeing menciptakan arus modal masuk signifikan dan potensi multiplier efek ekonomi domestik melalui investasi infrastruktur dan kepercayaan pasar.

Sektor energi dan mineral kritis menjadi pusat sorotan dalam kesepakatan ini. AS menuntut akses terhadap ekspor energi dan mineral dari Indonesia, sementara Indonesia menghapus pembatasan ekspor mineral kritis yang selama ini dikenakan. Hal ini penting bukan hanya untuk neraca perdagangan, tetapi juga mendukung posisi Indonesia sebagai pemasok global bahan baku sektor EV dan energi bersih. Perjanjian ini berpotensi meningkatkan nilai ekspor hilirisasi mineral dan mendatangkan investasi dalam pengolahan dalam negeri.

Dalam jangka pendek, dampak terhadap neraca perdagangan akan berupa surplus yang lebih moderat dibanding 2024, namun tidak merosot tajam seperti jika tarif mencapai 32 persen. Ekspor non-minyak mungkin akan mengalami pertumbuhan melambat, tetapi ekspor mineral, energi, dan pertanian tetap stabil.

Pada sisi lain, impor produk teknologi dan kendaraan meningkat, sementara arus masuk investasi juga tumbuh, termasuk proyek kilang modular senilai sekitar 8 miliar Dolar AS dengan mitra AS yang dapat memperkuat neraca oleh sisi produktif domestik.

Dampak terhadap sektor fiskal juga tidak bisa diabaikan. Tarif 19 persen masih menghasilkan penerimaan bea masuk AS atas produk Indonesia, namun impor AS hampir bebas tarif. Di Indonesia sendiri, potensi pajak dari impor tinggi dan impor modal bisa meningkat, membantu mendukung anggaran pemerintah.

Sementara itu, komitmen pembelian energi dan pesawat AS membuka peluang untuk transfer teknologi dan efisiensi logistik yang dapat mendongkrak produktivitas nasional.

Perubahan neraca perdagangan ini juga memberi sinyal kepada Bank Indonesia. Sejumlah analis memprediksi bahwa BI mungkin mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan untuk mendorong pertumbuhan jika tekanan inflasi dari impor dapat dikendalikan, dan arus modal tetap kuat. Indeks saham Indonesia merespons positif dengan kenaikan lebih dari 0,7 persen saat berita kesepakatan diumumkan, menggambarkan optimisme pasar terhadap prospek ekonomi yang lebih stabil dan hubungan AS–Indonesia yang menguat.

Secara regional, kesepakatan ini menempatkan Indonesia relatif lebih kuat dibandingkan negara tetangga seperti Filipina atau Vietnam yang menerima tarif serupa tapi tanpa komitmen pembelian besar atau skema penghapusan hambatan non-tarif sama luasnya. Indonesia berhasil mendapatkan leverage lebih dalam menegosiasikan akses ekspor dan investasinya.

Kendati demikian, kekhawatiran tetap ada mengenai kemungkinan re-routing barang dari China melalui Indonesia agar mendapat tarif rendah saat diekspor ke AS. AS menyiapkan tarif penalti untuk mencegah transshipment semacam itu, tetapi implementasinya masih tergantung pada penegakan aturan asal barang yang efektif.

Dengan sentimen positif pasar, stabilitas rupiah, prospek investasi, dan prospek ekspor menyeluruh yang tetap terbuka, kesepakatan tarif AS–Indonesia memberikan keseimbangan pragmatis bagi neraca perdagangan Indonesia dan peluang bagi pertumbuhan sektor strategis tanpa memicu disrupsi berat pada ekonomi makro.

Editor: Anindita Trinoviana

Follow WhatsApp Channel vozpublica untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
vozpublica Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program vozpublica.id Network. Klik lebih lanjut