JAKARTA, vozpublica.id - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi RI tumbuh 5,12 persen pada kuartal II 2025. Namun, angka ini jauh berbeda dengan proyeksi para ekonom dan memicu keraguan.
Angka tersebut dianggap tidak mencerminkan kondisi ekonomi riil, mengingat beberapa indikator makro yang justru menunjukkan tren melemah. Salah satu Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad mengaku kaget dengan data tersebut.

Purbaya Makan Siang di Warung Kaki Lima usai Rakortas Danantara
Bagaimana tidak, proyeksi dari berbagai pihak, termasuk dari Kementerian Keuangan, menunjukkan pertumbuhan di bawah 5 persen.
"Jadi itu menjadi dasar kita menyebutkan, memang enggak mungkin tumbuh dari lima persen. Makanya kita kaget tumbuh di atas lima persen," kata Tauhid kepada vozpublica.id Selasa (5/8/2025).
Ini Daerah dengan Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi di Kuartal II 2025
Menurut Tauhid, tren data-data riil seperti penjualan roda dua dan semen, serta indeks PMI, menunjukkan pelemahan. Oleh karena itu, ia memperkirakan pertumbuhan kuartal III 2025 akan lebih rendah, kembali di bawah 5 persen.
"Tahun lalu kan 4,95, dua tahun lalu 4,94 di kuartal ketiga. Ya, itu faktornya ini, tidak ada momentum besar, ya, yang kedua, biasanya belanja pemerintah belum optimal di kuartal ketiga," tuturnya.

BPS Ungkap Pendorong Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12 Persen di Kuartal II 2025
Keraguan yang lebih mendalam diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. Menurutnya, ada beberapa data BPS yang janggal dan tidak konsisten dengan kondisi lapangan.
Bhima menyoroti perbedaan signifikan antara data pertumbuhan industri pengolahan versi BPS dan data PMI Manufaktur. BPS mencatat pertumbuhan industri pengolahan sebesar 5,68 persen secara tahunan. Sedangkan, data PMI Manufaktur pada akhir Juni 2025 justru turun dari 47,4 menjadi 46,9.
"Jadi penjelasannya apa? Bagaimana mungkin PHK massal di padat karya meningkat, terjadi efisiensi dari sektor industri, penjualan semen turun, bahkan di sektor hilirisasi juga smelter nikel ada yang berhenti produksi tapi industri tumbuh tinggi?" ungkap Bhima.
Bhima pun mempertanyakan data konsumsi rumah tangga yang tumbuh hanya 4,97 persen. Padahal, dengan kontribusinya yang mencapai 54,2 persen terhadap PDB, idealnya konsumsi tumbuh di atas 5 persen agar total pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,12 persen.
"Ada indikasi yang membuat masyarakat meragukan akurasi data BPS," kata Bhima.
Editor: Puti Aini Yasmin
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Maluku