JAKARTA, vozpublica.id – Wacana pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) tak langsung lewat DPRD masih menjadi topik hangat yang menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, tercatat sebagai salah satu tokoh yang setuju dengan wacana tersebut.
Menurut dia, lembaga berwenang akan lebih mudah melakukan pengawasan jika terjadi money politic (politik uang) terhadap pilkada yang dilakukan oleh DPRD. Bahkan Mahfud menegaskan, jika sistem itu tidak terawasi dengan baik pun, yang menjadi korban hanya sedikit yakni anggota DPRD saja.
“Mungkin pendapat yang dominan lebih suka kalau wacana itu lebih baik tetap pilkada langsung karena dianggap lebih memberikan kedaulatan pada rakyat. Itu silakan saja. Tapi saya pribadi dulu mengusulkan (pilkada) lewat daerah (DPRD), karena sebagai mantan hakim, saya tahu banyak mudharatnya (pilkada langsung),” ujar Mahfud saat ditemui iNews di Kantor Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara - Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Meski demikian, Mahfud juga tidak menolak sistem pilkada langsung. Apalagi selama era reformasi, pilkada langsung dianggap sebagai sebuah kemajuan karena memberikan wewenang penuh pada rakyat untuk menentukan pemimpinnya.
“Ya, itu yang dikhawatirkan. Selama ini masyarakat sipil menganggap, salah satu keberhasilan reformasi kita selama 20 tahun karena berhasil melaksanakan pemilu atau pilkada secara langsung. Itu dianggap kemajuan. Kalau dikembalikan lagi ke DPRD, dianggap mundur lagi,” ucapnya.
Akan tetapi, dia memberikan catatan bahwa jika pilkada langsung tetap diberlakukan, sudah semestinya sistem tersebut dipayungi oleh instrumen hukum yang baru. Instrumen hukum yang dimaksud Mahfud di sini misalnya terkait dengan pembatasan biaya belanja kampanye.
Selama ini, kata Mahfud, dalam pilkada langsung yang dibatasi hanya dana kampanye yang boleh diterima pasangan calon (paslon) kepala daerah. Padahal, dana yang dikeluarkan juga harus dibatasi agar penyalahgunaan kekuasaan maupun money politic bisa lebih diminimalisasi.
“Sekarang harus dibatasi juga dana yang boleh dikeluarkan untuk kampanye, agar tidak ada yang menyalahgunakan kekuasaan dan tidak mencari dana yang menyandera (paslon). Itu aja. Kalau (pilkada) melalui DPRD, ya mungkin lebih praktis. Kalau ada money politic lebih mudah diawasi. Kalaupun tidak terawasi, korbannya hanya sedikit, sejumlah anggota DPRD aja,” tutur Mahfud.